Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Cibubur, 17 Agustus 2025 – Pagi itu, langit Cibubur tampak cerah meski udara masih diselimuti embun sisa malam. Halaman Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dipenuhi warna merah dan putih. Dari kejauhan, derap langkah para siswa terdengar kompak, berpadu dengan sorak semangat hadirin yang mulai memenuhi kursi undangan. Tepat pukul 07.00 WIB, upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dimulai dengan penuh khidmat.

Acara tersebut diikuti oleh seluruh elemen sekolah: siswa kelas 7 dan 10 tampil sebagai petugas utama upacara, mulai dari pasukan pengibar bendera hingga anggota paduan suara. Guru dan karyawan hadir sebagai peserta, sementara para orang tua siswa turut menyaksikan jalannya upacara dari kursi tamu undangan—sebuah pemandangan yang menyatukan keluarga besar Bakti Mulya 400 dalam satu semangat kebangsaan.

Defile Semangat Empat Pleton

Sebelum prosesi resmi dimulai, perhatian tertuju pada defile kesiapan empat pleton siswa. Mereka berbaris tegap, menampilkan disiplin dan kekompakan gerakan. Sorak kecil dari para orang tua terdengar lirih, namun segera teredam oleh wibawa barisan. Defile ini bukan sekadar parade barisan, melainkan simbol kesiapan generasi muda dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan.

Seolah menyambung pesan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Defile itu menjadi bukti bahwa penghargaan kepada jasa pahlawan dapat diwujudkan bukan hanya dengan mengenang, tetapi dengan melatih diri untuk siap melanjutkan estafet perjuangan.

Sang Merah Putih Berkibar

Tepat pukul 07.13 WIB, komando lantang terdengar. Pasukan pengibar bendera melangkah mantap menuju tiang utama. Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, dilantunkan penuh semangat oleh paduan suara sekolah. Seluruh tamu undangan berdiri, memberi hormat.

Momen pengibaran bendera selalu menjadi titik emosional. Sang Merah Putih perlahan naik, menyentuh langit biru Cibubur. Derap kaki pasukan pengibar seirama, memastikan setiap gerakan presisi. Suasana hening, hanya suara lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengalun mengisi udara.

Amanat Inspektur Upacara

Puncak upacara terjadi saat Inspektur Upacara, Ketua Pelaksana Harian (KPH) Bakti Mulya 400, Dr. Sutrisno Muslimin, M.Si., menyampaikan amanatnya. Dengan suara tegas namun hangat, ia membuka dengan refleksi sejarah.

“Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah buah dari keberanian para pemuda yang memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan Jepang. Dari situ, bangsa kita belajar bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Maka, tugas generasi sekarang adalah belajar mengambil peluang, agar sukses dan masa depan bisa diraih dengan gemilang,” ujarnya.

Ia lalu menekankan pentingnya pendidikan sebagai jalan utama mengisi kemerdekaan. “Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan upaya sadar agar setiap siswa memiliki fisik yang sehat, mental yang kuat, karakter yang kokoh, serta pengetahuan yang luas. Semua itu menjadi bekal mempercepat kemajuan bangsa.”

Dalam sambutannya, Dr. Sutrisno juga menegaskan peran Bakti Mulya 400 Cibubur. “Sekolah ini mempersiapkan generasi yang cakap, tangguh, dan siap menghadapi tantangan zaman.”

Baca juga : Siswa SMA BM400 Cibubur: Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Pidatonya seakan menggema dengan semangat Tan Malaka yang pernah berkata: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Dengan idealisme itu, pendidikan menjadi tiang utama bangsa yang merdeka.

Menyongsong Masa Depan

Usai amanat, paduan suara siswa membawakan lagu Hari Merdeka. Suasana lapangan bergemuruh, seakan semua ikut larut dalam energi perjuangan yang diwariskan para pendiri bangsa. Setelah doa dipanjatkan, upacara resmi ditutup dengan laporan komandan upacara serta penghormatan terakhir kepada inspektur upacara. Namun acara tak berhenti di situ. Paduan suara Sekolah Internasional Bakti Mulya 400 Cibubur kemudian memberikan persembahan lagu-lagu kebangsaan.

Di usia ke-80 kemerdekaan Indonesia, tantangan bangsa kian kompleks. Revolusi digital, globalisasi, hingga perubahan iklim menuntut kesiapan generasi muda yang berbeda dari sebelumnya. Upacara di Bakti Mulya 400 Cibubur memberikan optimisme: jika semangat ini terus dijaga, Indonesia akan memiliki generasi emas yang siap mengemban tanggung jawab sejarah. Seperti pesan Bung Karno pada pidato legendarisnya tahun 1966: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pesan itu kini terasa nyata: generasi sekarang berhadapan dengan tantangan moral, korupsi, disrupsi teknologi, hingga krisis lingkungan. Namun, bila pendidikan mampu melahirkan insan tangguh, tantangan itu akan terjawab.

Siswa SMA BM400 Cibubur Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Siswa SMA BM400 Cibubur: Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Cibubur – Di sebuah ruang kelas modern di bilangan Cibubur, puluhan siswa Sekolah Bakti Mulya 400 (BM400) tampak khusyuk menatap layar laptop mereka. Namun hari itu bukan sekadar tentang mengerjakan tugas harian. Para siswa sedang membangun sesuatu yang lebih besar, lebih personal, dan lebih bermakna: portofolio digital mereka sendiri.

Menggunakan platform Google Sites, siswa SMA BM400 menyusun situs pribadi yang memuat dokumentasi lengkap perjalanan akademik dan non-akademik mereka. Mulai dari jurnal reflektif, artikel ilmiah, dokumentasi proyek, hingga karya-karya visual dan catatan kegiatan sosial. Semua terangkum dalam sebuah laman digital yang tak hanya rapi secara teknis, tapi juga sarat muatan emosional dan nilai-nilai pembelajaran yang dalam.

“Inilah cara baru kami mendidik anak-anak untuk mengenali dirinya sendiri,” ujar Adi Sayono, salah satu guru pembimbing proyek ini. “Kami tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga bagaimana mereka merangkai cerita, menginterpretasi pengalaman, dan membingkai identitas mereka dalam dunia digital.”

Belajar Merangkum Diri Sendiri

Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, BM400 Cibubur memilih untuk tidak hanya menjadi pengikut tren, melainkan pelaku transformasi. Melalui portofolio digital ini, para siswa tidak semata-mata menunjukkan apa yang sudah mereka capai, tetapi juga bagaimana mereka sampai pada titik tersebut. Portofolio ini menjadi semacam cermin diri digital—tempat siswa bercermin, bertanya, dan menjawab: Siapa saya sebagai pelajar, dan ke mana saya ingin melangkah?

Setiap laman pada portofolio itu disusun secara mandiri oleh siswa, meski dengan bimbingan dari guru. Mereka memilih sendiri narasi yang ingin disampaikan, desain yang merepresentasikan kepribadian, hingga konten-konten yang dianggap paling mencerminkan perkembangan mereka. Hasilnya pun beragam: ada yang tampil elegan minimalis, ada yang penuh warna dan grafis dinamis—semuanya menjadi cerminan otentik dari masing-masing siswa.

Portofolio ini juga menjadi ajang pembuktian kompetensi dalam berbagai dimensi. Di satu sisi, proyek ini melatih keterampilan teknis seperti literasi digital, tata letak visual, dan pengelolaan konten daring. Di sisi lain, ia memperkuat aspek personal seperti kemampuan refleksi, manajemen diri, dan ekspresi diri yang bertanggung jawab.

Dari Cibubur ke Panggung Global

Tak berhenti sebagai alat pembelajaran internal, portofolio digital ini juga dirancang dengan visi ke depan. Khususnya bagi siswa SMA yang bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri, portofolio ini menjadi senjata presentasi diri yang tak ternilai harganya.

Dalam dunia pendidikan global yang semakin kompetitif, nilai rapor dan skor tes bukan lagi satu-satunya alat ukur. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ternama di luar negeri kini banyak menilai personal statement, digital presence, hingga evidence of learning ownership. Di sinilah portofolio digital menunjukkan perannya.

“Portofolio ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya mengikuti sistem, tetapi juga mampu mengartikulasikan identitas dan ambisinya secara autentik dan profesional,” terang Jelita Bestari, Koordinator Bidang Kurikulum. “Ini adalah bentuk kesiapan mereka menjadi warga dunia—yang tahu siapa dirinya dan tahu bagaimana mengomunikasikannya.”

Bagi siswa yang berminat masuk ke program seni rupa, desain, atau teknologi digital, portofolio ini bahkan menjadi syarat utama dalam proses pendaftaran. Sedangkan untuk program studi lain, portofolio tetap menjadi nilai tambah yang signifikan.

Menulis Sejarah Pribadi

Namun lebih dari segalanya, proyek ini mengajarkan siswa tentang pentingnya menulis sejarah pribadi. Di era informasi seperti saat ini, siapa yang mampu mendokumentasikan dan menyampaikan perjalanan hidupnya dengan baik, akan memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan diakui.

“Portofolio digital ini adalah arsip hidup. Ia akan terus berkembang seiring dengan perkembangan diri siswa,” kata Iryanto Yosa, Kepala SMA BM400 Cibubur. “Mereka belajar menulis, merefleksi, menilai diri sendiri, dan memperbaiki arah. Ini pelajaran hidup yang tak ternilai.”

Dalam proses pembuatan portofolio ini, tidak sedikit siswa yang terkejut melihat betapa luasnya pengalaman mereka selama sekolah. Kegiatan yang semula dianggap sepele—seperti menjadi MC dalam acara kelas, mengikuti kegiatan sosial, atau menulis opini di majalah sekolah—mendadak terasa penting saat dituangkan dalam narasi digital yang runut.

Baca juga : Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Yang lebih penting, siswa diajak untuk tidak hanya menampilkan sisi gemilang, tapi juga proses jatuh-bangun yang mereka alami. Portofolio ini menjadi ruang jujur, di mana kegagalan dan kebingungan pun bisa menjadi bagian dari cerita yang membentuk kepribadian.

Pendidikan yang Memberdayakan

Langkah BM400 Cibubur ini sejatinya merepresentasikan semangat baru dalam pendidikan: memberdayakan siswa sebagai subjek utama pembelajaran. Dalam sistem konvensional, siswa kerap menjadi objek evaluasi—dinilai, diperingkat, dibandingkan. Tapi lewat proyek portofolio digital, siswa diajak menjadi penulis narasi mereka sendiri.

Dari sudut pandang pendidikan abad ke-21, inisiatif ini juga selaras dengan empat pilar pembelajaran UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Portofolio digital merangkum semuanya—dalam format yang sesuai dengan zaman.

Yudi Latif Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka-2

Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Ajakan untuk kembali ke akar budaya dan etika lingkungan dalam sistem pendidikan

JAKARTA – Pendidikan yang baik tidak cukup hanya mengajarkan ilmu dan keterampilan. Pendidikan harus membentuk manusia secara utuh, dari karakter hingga kesadaran spiritual.

Hal itu disampaikan cendekiawan Prof. Dr. Yudi Latif, MA dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”. yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025) dan dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya.

Ia menegaskan, pendidikan sejati bukan hanya soal skor ujian atau hasil akademik. “Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Bukan hanya pengajaran kognitif,” ujar Yudi.

Menurut Yudi, pendidikan yang baik harus menyatu dengan kebudayaan. Ia mengingatkan bahwa manusia belajar bukan hanya lewat insting seperti binatang, tetapi lewat budaya. “Budaya adalah jembatan yang memaknai hidup,” tegasnya.

Empat Nilai, Satu Akar

Yudi menyebutkan empat nilai dasar yang seharusnya menjadi isi pendidikan: nilai etis (baik dan buruk), nilai logis (benar dan salah), nilai estetis (pantas dan tidak), serta nilai pragmatis (manfaat dan mudarat).

Keempat nilai itu, kata Yudi, diikat oleh akar yang sama: spiritualitas.

“Tanpa spiritualitas, peradaban kita rapuh. Teknologi dan ilmu tak akan membawa manfaat bila nilai-nilai hilang,” ujarnya.

Yudi mengutip pandangan Arnold Toynbee. Dalam peradaban, sains dan teknologi hanyalah lapisan terluar. Di bawahnya ada estetika, kemudian etika, dan di paling dalam ada spiritualitas.

Pendidikan Adalah Pohon

Dalam paparannya, Yudi menggambarkan pendidikan seperti pohon. Akarnya adalah karakter. Batangnya ilmu. Cabangnya keterampilan. Buahnya adalah kreativitas dan inovasi.

Karena itu, pendidikan dasar seperti PAUD dan SD seharusnya fokus pada membentuk karakter. “Anak-anak perlu ditanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan sejak dini,” katanya.

Baru di jenjang berikutnya, mereka diperkenalkan pada ilmu pengetahuan dan keahlian. Yudi mengingatkan agar sistem pendidikan tidak melompat ke hasil tanpa membangun akar yang kuat.

Kritik Terhadap Sistem Nilai Sekolah

Yudi menyoroti sistem penilaian di sekolah yang terlalu bergantung pada angka dan ujian pilihan ganda. Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip deep learning.

“Deep learning itu menekankan proses, bukan sekadar hasil. Skor tidak bisa mengukur nilai estetis, etis, dan spiritual,” tegasnya.

Ia mengajak semua pihak, terutama sekolah, untuk mulai menilai anak-anak secara lebih utuh, tidak hanya dari nilai rapor.

Pelajaran dari Sebatang Pohon

Yudi juga berbagi kisah saat anaknya bersekolah di Australia. Ketika sebuah pohon tua di dekat sekolah harus ditebang, pihak sekolah mengajak siswa menyampaikan “selamat jalan” kepada pohon itu.

“Setiap anak bahkan membawa pulang potongan kecil kayu dari pohon itu sebagai kenangan,” katanya.

Baca juga : Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Menurut Yudi, itu adalah contoh pendidikan lingkungan yang menyentuh hati. Anak-anak tidak hanya belajar tentang pohon secara ilmiah, tapi juga membangun ikatan emosional dan etika dengan alam.

Ajak Pendidikan Kembali ke Akar

Di akhir sesi, Yudi mengajak dunia pendidikan untuk kembali pada akar. Ia menyebutkan tiga hubungan penting dalam Islam: hablum minallah (relasi dengan Tuhan), hablum minannas (dengan manusia), dan hablum minal ‘alam (dengan alam).

“Ketiganya harus ada dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.

Pendidikan, menurutnya, harus menumbuhkan manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijaksana dan peduli lingkungan.

Rocky Gerung Setiap Pohon adalah Sungai

Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Diskusi Panel Pendidik di BM 400 Cibubur Serukan Revolusi Cara Berpikir Ekologis

Cibubur – Filsuf publik Rocky Gerung menyerukan pentingnya memasukkan etika lingkungan ke dalam kurikulum sekolah sebagai langkah mendesak menjawab krisis ekologis global. Hal ini disampaikan dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”, yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025).

Acara yang dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya ini menjadi ruang intelektual yang membongkar ulang paradigma pendidikan Indonesia. Rocky, dalam paparan filosofisnya yang memukau, menyampaikan bahwa “Setiap pohon adalah sungai” — sebuah lompatan logika ekologis yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik.

“Selama ini kita mengajarkan bahwa sungai mengalir dari gunung ke laut. Tapi kini, mari ajarkan bahwa setiap pohon adalah sungai vertikal. Ia memompa air dari akar ke daun, menghasilkan oksigen lewat fotosintesis. Maka menebang pohon sama saja dengan memotong sungai,” tegas Rocky, disimak antusias para pendidik yang memadati ruangan.

Guru: Pilar Epistemik Bangsa yang Terlupakan

Diskusi juga menyoroti degradasi moral dunia pendidikan saat ini. Rocky menyesalkan adanya jarak antara idealisme founding fathers bangsa dengan praktik pendidikan modern yang terseret arus komersialisasi dan kecurangan akademik.

“Guru bukan hanya profesi. Ia adalah fondasi epistemik bangsa. Bung Karno, Hatta, Buya Hamka, Natsir — semua adalah guru. Tapi sekarang, kita melihat plagiarisme merajalela, dosen memalsukan publikasi, dan sistem pendidikan kehilangan etika,” ujarnya prihatin.

Menurut Rocky, Sekolah Bakti Mulya 400 justru menampilkan harapan baru sebagai lembaga pendidikan yang berani berbicara tentang etika lingkungan, di saat banyak sekolah sibuk mengejar akreditasi dan angka tanpa arah moral yang jelas.

Lingkungan Bukan Tambahan, Tapi Inti Kurikulum

Mengutip SDGs dan diskursus global, Rocky menyebut bahwa “environmental ethics” sudah menjadi grammar baru dalam kurikulum dunia. Namun sayangnya, banyak akademisi dan pejabat pendidikan Indonesia masih gagap dalam isu ini.

“Menteri kita datang ke forum dunia, tapi tidak tahu cara bicara soal etika lingkungan. Padahal ini adalah pengetahuan universal masa depan,” kritiknya.

Ia mengajak seluruh pendidik yang hadir untuk tidak hanya mengajarkan IPA, IPS, atau Bahasa, tapi juga mengintegrasikan logika ekologis dalam setiap pelajaran. “Asap mobil di Thamrin bisa membatalkan panen emak-emak di Gunung Sumbing. Itu yang disebut butterfly effect. Maka mari kita bentuk cara berpikir sistemik dan ekologis pada anak-anak,” tambahnya.

Indonesia Berpotensi Jadi Nauru Kedua

Dalam bagian akhir diskusi, Rocky memberikan peringatan keras tentang potensi Indonesia mengalami kehancuran ekologis seperti negara Nauru — sebuah negara kecil di Pasifik yang sempat kaya karena eksploitasi fosfat, namun kini menjadi salah satu negara termiskin dan rusak total akibat absennya etika ekologis dalam kebijakan negaranya.

Baca juga : Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

“Kalau pemimpin kita hanya bermental dealer, bukan leader, maka masa depan Indonesia bisa gelap. Tanpa paradigma lingkungan, pembangunan hanyalah ilusi,” pungkas Rocky.

BM 400 dan Pendidikan Etis

Bagi Rocky Gerung, hari itu bukan sekadar undangan ceramah. Di panggung Invinity Hall, ia tak sedang menyampaikan diktum filsafat atau mengulang jargon SDGs. Ia tengah menyaksikan percik kecil dari kemungkinan besar: sekolah yang mau dan mampu berbicara dalam grammar lingkungan—bahasa masa depan yang kini justru asing di negeri sendiri.

“BM 400 do speak environmental ethics,” katanya, bukan sebagai pujian basa-basi, melainkan pengakuan jujur terhadap ikhtiar yang langka. Di sekolah ini, ia melihat kurikulum tak lagi sekadar rencana belajar, tapi niat membentuk nalar baru: nalar ekologis. Guru-gurunya berbicara tentang pohon bukan sebagai objek, tapi sebagai sungai yang berdiri; tentang oksigen bukan sekadar rumus, tapi etika kehidupan.

Rocky tahu, dalam sistem pendidikan yang lebih sibuk mengurus akreditasi ketimbang makna, gerakan semacam ini bisa tampak utopis. Tapi ia juga tahu, sejarah perubahan besar sering dimulai dari tempat-tempat yang tak banyak disorot. Maka ketika Bakti Mulya 400 memulai langkahnya, ia menyebutnya sebagai “janji sunyi pendidikan etis”—janji yang tak diucap nyaring, tapi bergerak dalam kurikulum dan cara berpikir.

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme-1

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

Jakarta — Di tengah arus deras globalisasi dan disrupsi teknologi yang kian tak terbendung, Yayasan Badan Kerjasama Pendidikan (YBKSP) Bakti Mulya 400 meneguhkan langkah strategisnya dalam menata masa depan pendidikan nasional. Lewat gelaran Town Hall Meeting 2025 yang berlangsung Senin (23/6) di Auditorium SMP Bakti Mulya 400 Jakarta, yayasan ini mengajak ratusan guru dan tenaga kependidikan dari TK hingga SMA untuk kembali pada akar: menjadi pemimpin pembelajaran yang transformatif, berdaya saing global, dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.

Mengangkat tema “Embodying Transformative Leadership Towards Nationalism-Based and Global Standard Education,” forum ini dirancang bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi sebagai momentum konsolidasi visi dan nilai bersama para pendidik di bawah naungan YBKSP Bakti Mulya 400.  Dari pelantikan pimpinan baru hingga sesi diskusi mendalam oleh tokoh-tokoh nasional, perhelatan ini menjadi cermin dari sebuah gerakan intelektual dan moral dalam tubuh institusi pendidikan.

Menjadi Pemimpin Zaman Baru

Dr. H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Ketua Pelaksana Harian YBKSP BM400 dalam sambutannya menyampaikan bahwa, “Guru adalah pemimpin perubahan. Mereka dituntut untuk cakap, berjiwa nasionalis, dan mampu memandu anak-anak kita di tengah turbulensi zaman.”

Sutrisno juga menegaskan visi besar yayasan dalam pengembangan jangka panjang. “Kami menargetkan akan ada 400 sekolah Bakti Mulya di seluruh Indonesia. Karena hanya dengan memperluas keberadaan, sekolah BM dapat berkontribusi lebih besar bagi masa depan bangsa ini,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pembangunan pendidikan tidak cukup hanya dengan mutu, tetapi juga dengan skala. Ekspansi menjadi alat untuk memperluas pengaruh nilai dan kualitas pendidikan Bakti Mulya ke seluruh pelosok negeri.

Dalam sesi pertama bertajuk “Empowering Future Educators: Skills to Lead in 2030 and Beyond,” narasumber Dr. Drg. Muh. Arief Rosyid, M.KM. membedah kompleksitas kompetensi yang harus dimiliki guru masa depan.

“Guru adalah arsitek masa depan bangsa,” tegas Arief. “Ia harus menjadi pemimpin yang transformatif—mampu membaca arah zaman, berani mengambil inisiatif, dan membimbing siswa dengan kasih serta visi.”

Diskusi ini mengulik keterampilan abad ke-21 yang kini tak lagi bersifat opsional, melainkan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik pembelajaran yang relevan dan efektif. Tak heran, topik seperti literasi AI, global awareness, lifelong learning, hingga kemampuan berkolaborasi lintas budaya menjadi sorotan penting.

Membumikan Nasionalisme di Ruang Kelas

Jika sesi pertama membahas kemampuan teknologis dan pedagogis, maka sesi kedua hadir sebagai jantung nilai acara. Dalam diskusi “Strengthening National Values in Teacher Leadership Practices,” Prof. Dr. Laode Masihu Kamaluddin, MSc, M.Eng. mengajak peserta merefleksikan kembali esensi nasionalisme dalam praktik pendidikan.

Menurut Laode, inti dari pembelajaran yang bermakna adalah “trust”—kepercayaan antara guru dan siswa yang menjadi fondasi dalam membentuk masyarakat masa depan. “Kita sedang menuju super smart society. Tapi tak ada teknologi yang bisa menggantikan makna kepercayaan,” ungkapnya penuh penekanan.

Ia menambahkan, pembelajaran yang baik bukan sekadar tentang konten, tetapi tentang karakter dan kepercayaan yang dibangun secara terus-menerus. “Hari ini adalah cerminan masa depan,” tuturnya. “Apa yang guru tanam hari ini akan mempengaruhi arah bangsa dalam 20 hingga 30 tahun ke depan.”

Baca juga : Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

Melalui pendekatan naratif dan contoh konkret, Prof. Laode menekankan bahwa guru bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penjembatan antara lokalitas dan dunia. Siswa yang mengenal budaya dan sejarah bangsanya akan lebih siap bersaing di ranah global tanpa kehilangan identitas.

Konsolidasi Lintas Unit dan Arah Strategis Yayasan

Town Hall Meeting 2025 juga menjadi panggung konsolidasi internal yayasan. Dalam sesi pelantikan, para pimpinan unit baru dari TK, SD, SMP, dan SMA Bakti Mulya 400 resmi dikukuhkan. Momentum ini menjadi penanda regenerasi kepemimpinan dalam semangat kolaborasi dan keberlanjutan.

Kegiatan ini tak hanya berbicara soal gagasan besar dan arah strategis, selain itu juga memberi ruang bagi ekspresi seni dan hiburan sebagai bagian dari keseimbangan dalam dunia pendidikan. Penampilan seni dari para guru menutup sesi makan siang dengan semarak.

Dengan spirit transformatif yang mengakar pada nasionalisme dan menyentuh standar global, Town Hall Meeting 2025 adalah manifestasi dari komitmen kolektif untuk membangun Indonesia dari ruang kelas—dengan hati, nalar, dan nilai.

Prof Laode Kamaluddin Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar-1

Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

JAKARTA — Dalam auditorium Sekolah Bakti Mulya 400 yang dipenuhi para pendidik sekolah tersebut, Senin 23 Juni 2024, sebuah wacana penting tentang arah pendidikan bangsa mengemuka. Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), membuka cakrawala berpikir para pendidik melalui satu gagasan utama: membangun kepemimpinan guru dengan fondasi nilai-nilai nasional, kepercayaan, dan pemahaman akan transformasi zaman.

Karakter, Tradisi, dan Etika: Pilar Nilai Bangsa

Laode memulai dengan mengajak para guru dan kepala sekolah kembali ke akar. Ia menegaskan bahwa national value—nilai-nilai bangsa Indonesia—adalah fondasi utama dalam merancang arah pendidikan masa depan. Tiga pilar utama yang ia sorot adalah karakter, tradisi, dan etika.

Karakter, menurutnya, adalah kekuatan moral yang membentuk integritas guru dan peserta didik. Tradisi adalah jembatan peradaban yang menghubungkan warisan leluhur dengan tantangan kekinian. Sedangkan etika, adalah bingkai perilaku dalam masyarakat yang terus bergerak.

“Karakter itu bukan ajaran tambahan. Itu inti dari pendidikan,” katanya tegas. Tradisi dan etika, lanjutnya, bukan penghambat inovasi, tapi pemandu agar perubahan tidak kehilangan arah.

Ia mengingatkan bahwa pendidikan Indonesia memiliki tujuh sumber nilai utama: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, penghormatan terhadap budaya dan tradisi lokal, keadilan, kemanusiaan, serta toleransi dan kerukunan. “Nilai-nilai inilah yang menjadikan pendidikan kita memiliki ruh kebangsaan,” ucapnya.

Kepemimpinan Guru dan Filosofi Kepercayaan

Di bagian tengah paparannya, Laode menyoroti pentingnya teacher leadership. Tapi ia menyodorkan definisi yang tidak biasa. “Kepemimpinan guru adalah seni memengaruhi tanpa membuat orang merasa dipengaruhi,” ungkapnya.

Bagi Laode, inti dari kepemimpinan guru adalah trust—kepercayaan. Tanpa itu, komunikasi akan rapuh, informasi tak lagi bermakna, dan kepemimpinan kehilangan daya geraknya. Dalam struktur sekolah, trust membentuk ekosistem: antara guru dan murid, antar sesama guru, serta antara guru dengan orang tua dan masyarakat.

Ia menyebut model High Performance Leadership dalam pendidikan yang bertumpu pada tiga pilar: kualitas komunikasi, kualitas informasi, dan kualitas kepemimpinan. “Ketiganya saling memperkuat dalam atmosfer kepercayaan,” katanya. “Kalau tidak ada trust, tak akan ada transformasi.”

Dari Filsafat Analog ke Filsafat Digital

Sesi menjadi lebih reflektif ketika Laode membahas perubahan mendasar dalam cara berpikir generasi hari ini. Ia menyebut bahwa pendidikan tidak hanya bergeser dalam metode, tapi juga dalam kerangka epistemologis: dari filsafat analog ke filsafat digital.

“Generasi analog berpikir kontinu—bertahap, linear, terstruktur. Sedangkan generasi digital bersifat diskontinu—cepat, acak, dan multitasking,” jelasnya.

Perubahan ini membawa tantangan besar bagi dunia pendidikan. Guru tidak cukup hanya memahami kurikulum. Mereka harus memahami cara berpikir baru, dunia baru, dan cara belajar yang sangat berbeda dari masa lalu. “Jika kita masih mengajar dengan filosofi analog di hadapan anak-anak digital, kita sedang menanam benih yang tak akan tumbuh.”

Di sinilah nilai-nilai bangsa menjadi jangkar. Tradisi dan karakter menjadi penyeimbang dari kecepatan digitalisasi. Etika menjadi pelindung agar teknologi tidak menjadi senjata yang menusuk keadaban.

Pendidikan dan Teknologi: Kecanggihan yang Bernurani

Laode tidak menolak kemajuan. Sebaliknya, ia menyambutnya dengan konsep yang ia rumuskan sendiri: ABC + BEM—Artificial Intelligence, Big Data, Connectivity ditambah Blockchain, Ethics, dan Moral values. “Teknologi membentuk masa depan, tapi manusialah yang menentukan arahnya,” tegasnya, mengutip pandangannya sejak 2020.

Baca juga : Arief Rosyid: Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

Ia menyoroti bahwa pendidikan ke depan harus menjangkau wilayah yang selama ini tidak tersentuh: daerah 3T, kelompok marginal, dan anak-anak yang belum terlibat dalam ekosistem digital. “Reaching the Unreachable,” katanya, adalah misi mulia yang seharusnya menjadi prioritas bangsa.

Penutup: Merancang Masa Depan yang Bernilai

Saat sesi ditutup, suasana auditorium menjadi hening. Para pendidik yang hadir tak hanya diajak berpikir, tapi juga diajak merasa—merasakan pentingnya peran mereka dalam mendidik bangsa di tengah pergeseran besar dunia.

“Jangan jadikan hari ini sebagai cermin masa lalu,” Laode mengingatkan. “Jadikan ia sebagai cermin masa depan. Karena dari tangan-tangan guru hari ini, nasib masa depan bangsa akan ditentukan.”

Arief Rosyid Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa-2

Arief Rosyid: Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

Jakarta, 23 Juni 2025 — Dalam lanskap dunia yang terus berubah, satu hal tetap menjadi fondasi utama kemajuan peradaban: pendidikan. Dan di jantung pendidikan, berdiri sosok guru—bukan sekadar pengajar, melainkan pemimpin transformasi.

Itulah pesan kuat yang digaungkan Dr. drg. M. Arief Rosyid Hasan dalam Town Hall Meeting bertajuk “Pengajar di Masa Depan: Kepemimpinan, Artificial Intelligence, dan Nasionalisme”, yang digelar di Auditorium Bakti Mulya 400 Jakarta yang diikuti guru dan pimpinan Sekolah Bakti Mulya 400 Jakarta dan Cibubur.

Dengan gaya tutur tenang namun menggedor kesadaran, Arief mengajak para pendidik menatap masa depan dengan satu visi: menjadikan guru sebagai arsitek masa depan bangsa. “Guru bukan sekadar pengajar, melainkan pemimpin perubahan. Mereka menanam benih masa depan di kelas, hari ini,” ujar Arief membuka paparannya.

Menjadi Pemimpin Transformatif

Dalam pemaparannya, Arief menekankan pentingnya guru mengadopsi kepemimpinan transformatif—yakni tipe pemimpin yang bukan hanya memimpin dari depan, tetapi hadir sebagai inspirasi, pemberi makna, motivator, sekaligus penyokong. “Guru masa depan harus mampu menyentuh sisi terdalam anak-anak: harapan, emosi, dan keberanian untuk bermimpi,” ujarnya.

Kepemimpinan transformatif menuntut guru untuk memimpin dengan visi, memberi keteladanan, membangun relasi personal, dan menyemangati murid bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta. “Ketika guru hadir bukan sekadar mengajar, melainkan mendampingi dan mendorong anak-anak melampaui batas dirinya, saat itulah kepemimpinan sejati lahir di kelas,” ucap Arief.

Transformasi bukanlah proyek sesaat, melainkan proses panjang yang menuntut konsistensi karakter dan ketekunan hati. Guru yang transformatif tidak hanya menjelaskan materi, tetapi memekarkan potensi. Tidak hanya memberi tahu, tetapi menggerakkan.

Tak hanya menyoroti peran individu guru, Arief juga menegaskan pentingnya menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar—yakni institusi yang tak henti belajar, beradaptasi, dan memperbarui diri.

Mengajar dengan Jiwa, Mendidik dengan Visi

Arief menggambarkan masa depan guru sebagai “pembelajar seumur hidup yang membentuk pembelajar seumur hidup.” Dalam paparan strategisnya, ia menekankan perlunya kombinasi antara kecerdasan digital dan ketajaman nilai.

Arief memetakan setidaknya enam keterampilan utama yang harus dimiliki pengajar masa depan:

  1. Transformational Thinking
    Kemampuan melihat pembelajaran sebagai proses perubahan, bukan sekadar transfer pengetahuan.
  2. Emotional Intelligence & Empathy
    Guru harus menjadi manusia utuh yang memahami dimensi emosional siswa di era yang penuh tekanan mental.
  3. Digital Pedagogy
    Penguasaan teknologi bukan opsional, melainkan prasyarat untuk relevansi.
  4. Global Competence with National Soul
    Memiliki wawasan dunia tanpa kehilangan identitas keindonesiaan.
  5. Leadership & Coaching Skill
    Guru adalah coach yang memampukan, bukan pelatih yang mengatur-atur.
  6. Interdisciplinary Mindset
    Dunia nyata tidak mengenal sekat mata pelajaran; guru masa depan harus berpikir lintas bidang.

Arief memuji praktik baik yang dilakukan komunitas seperti 1000 Guru, yang menjadi bukti bahwa semangat transformasi pendidikan bisa lahir dari mana saja—dari pegunungan Papua hingga sudut-sudut kota. Ia juga mengangkat contoh dosen dan guru muda yang aktif di media sosial, menjembatani ilmu dan masyarakat melalui format Instagram, TikTok edukatif, dan webinar.

Bonus Demografi dan Peran Strategis Guru

Di penghujung paparannya, Arief mengingatkan satu realitas penting: bonus demografi Indonesia yang akan mencapai puncaknya dalam dua dekade ke depan. “Kita sedang berada di tengah jendela peluang sejarah,” katanya. “Jika kita menyiapkan generasi muda dengan baik, bangsa ini akan melesat. Jika tidak, ia bisa menjadi beban sosial yang meledak.”

Baca juga : Yudi Latif di Forum Headmaster Academy Indonesia: Pendidikan adalah Proses Menjadi Manusia Seutuhnya

Dalam konteks ini, guru bukan hanya pencetak nilai ujian, melainkan penentu arah sejarah. Mereka yang hari ini membimbing murid membaca dan berpikir kritis, sejatinya sedang mempersiapkan pemimpin masa depan negeri.

“Guru adalah arsitek tak bernama dalam naskah besar bangsa. Tak tampak di panggung sejarah, tetapi fondasinya ditopang oleh tangan mereka,” ucap Arief, dengan mata menyapu seluruh guru yang menyimak.

Pendidikan adalah Proses Menjadi Manusia Seutuhnya-2

Yudi Latif di Forum Headmaster Academy Indonesia: Pendidikan adalah Proses Menjadi Manusia Seutuhnya

JAKARTA — Di tengah suhu diskusi yang hangat namun penuh permenungan, Yudi Latif, MA., Ph.D., tampil menyuguhkan gagasan bernas tentang hakikat pendidikan dalam forum Headmaster Academy Indonesia (HAI) yang digelar di Auditorium Bakti Mulya 400, Jakarta, Selasa (17/6/2025). Di hadapan 70 pimpinan sekolah dari Jakarta dan Jawa Barat, intelektual kebangsaan itu mengajak para kepala sekolah untuk kembali ke akar: memahami pendidikan bukan semata transmisi pengetahuan, tetapi proses pembudayaan yang memanusiakan manusia.

“Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Belajar dari kehidupan, sepanjang hidup,” ujar Yudi membuka paparannya. Kalimat itu ia haturkan tanpa jargon, namun menggugah kesadaran bahwa pendidikan sejatinya adalah perjalanan panjang yang menautkan batin dan lahir, akal dan tindakan.

Di tangan Yudi, pendidikan kembali ditafsir sebagai seni membentuk watak. Ia mengurai makna budi pekerti secara filosofis dan praksis. “Budi adalah pikiran, perasaan, dan kemauan — ranah batiniah. Pekerti adalah tenaga dan daya — ranah lahiriah. Maka pendidikan harus mengolah keempat unsur: olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga,” jelasnya.

Dalam forum yang juga dihadiri oleh tokoh-tokoh pendidikan dari Institut Harkat Negeri (IHN) dan Sekolah Bakti Mulya 400, Yudi mengibaratkan pendidikan seperti proses budi daya tanaman. Ia mengajak para pendidik melihat pembelajar ideal sebagai pribadi yang “berakar dalam, berbatang tinggi, bercabang rapi, berdaun rindang, dan berbuah lebat.” Akar adalah akhlak, batang adalah pengetahuan, cabang adalah keterampilan, daun adalah kerukunan sosial, dan buah adalah inovasi.

Ia memetakan tahapan pendidikan seperti membentuk pohon. Pendidikan usia dini, kata Yudi, harus menanamkan akhlak-karakter sebagai akar. Pendidikan dasar membangun batang pengetahuan disertai kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan menengah bertugas memperluas wawasan generalis dan keterampilan tata kelola melalui cabang dan ranting yang kuat. Di sanalah kolaborasi dan empati tumbuh laksana daun yang rindang. Sementara itu, buah dari seluruh proses ini adalah kreativitas dan inovasi — yang baru dapat dipanen dalam pendidikan tinggi sebagai medan pengembangan spesialisasi.

Baca juga : Wisuda BM400 2025: “from Dream To Destiny, Powered By Passion, Guided By Purpose”

Forum Headmaster Academy Indonesia (HAI) bukan sekadar pertemuan. Ia adalah wadah penguatan kepemimpinan kepala sekolah melalui model pelatihan berlapis yang dirancang kolaboratif oleh Sekolah Bakti Mulya 400 dan Institut Harkat Negeri (IHN). Program ini menyuguhkan pendekatan sistematis melalui tahapan Induksi, Mentoring, Commencing, dan Kelas Pekanan.

Sejak dibuka pada 17 Mei 2025, para peserta — yang terdiri dari kepala dan wakil kepala sekolah dari berbagai institusi di Jakarta dan Jawa Barat — telah mengikuti tiga sesi kelas pekanan yang digelar setiap Sabtu: 24 Mei, 31 Mei, dan 7 Juni. Forum puncak bertajuk Commencing berlangsung pada 17 Juni 2025, sebagai penanda kelulusan dan peneguhan komitmen untuk menjadi pemimpin pendidikan yang visioner, bernurani, dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Seperti benih yang tumbuh dalam ladang yang disiram nilai dan pengetahuan, peserta HAI diharapkan dapat kembali ke sekolah masing-masing bukan hanya membawa modul pelatihan, melainkan juga gagasan dan keberanian untuk mengubah lanskap pendidikan menjadi lebih humanis dan berkelanjutan.

wisuda bm400 tahun 2025

Wisuda BM400 2025: “from Dream To Destiny, Powered By Passion, Guided By Purpose”

Jakarta, 14 Juni 2025 — Di tengah gemerlap suasana The Krakatau Grand Ballroom TMII Jakarta, sebanyak 283 siswa dari jenjang SD, SMP, dan SMA Bakti Mulya 400 resmi diwisuda dalam sebuah acara yang sarat makna dan penuh haru. Dengan mengusung tema From Dream to Destiny, Powered by Passion, Guided by Purpose”, acara ini menjadi penanda akhir dari satu fase penting dalam kehidupan para siswa sekaligus gerbang pembuka menuju babak kehidupan berikutnya.

Sebanyak 98 siswa dari SD (angkatan ke-35), 68 siswa dari SMP (angkatan ke-38), dan 117 siswa dari SMA (angkatan ke-24) tampil anggun dengan toga dan semangat yang terpancar di wajah mereka. Acara ini bukan sekadar prosesi seremonial, melainkan bentuk penghargaan atas kerja keras, dedikasi, dan perjalanan panjang para siswa dalam meraih prestasi akademik dan non-akademik.

Deputy Ketua Pelaksa Harian (KPH), Euis Tresna, M.Si. melaporkan bahwa pada tahun pelajaran 2024/2025 menunjukkan peningkatan signifikan pada capaian hasil ujian akhir sekolah. Untuk SD, rata-rata nilai akhir adalah 87,43; untuk SMP juga sebesar 87,43; sementara SMA mencapai 89,25. Peningkatan ini bukanlah hasil kebetulan semata.

“Tren nilai menunjukkan grafik naik secara konsisten. Ini menjadi cerminan dari sistem pendidikan yang terus berkembang, ditopang oleh dedikasi guru, keterlibatan aktif orang tua, serta semangat belajar yang tinggi dari para siswa,” tandas Euis Tresna.

Dalam sesi sambutan yang penuh kehangatan, Wakil Ketua Dewan Pengurus Yayasan Bakti Mulya 400, Baskara Sukarya, menyampaikan pesan mendalam yang berisi lima bekal utama untuk para wisudawan.

“Pertama, jadilah pribadi yang berakhlak mulia. Ini adalah fondasi dari semua bentuk keberhasilan. Kedua, jadilah pembelajar sepanjang hayat. Dunia terus berubah, dan hanya mereka yang terus belajar yang akan tetap relevan,” ujar Baskara.

Ia melanjutkan, “Ketiga, cintailah Indonesia sepenuh hati. Negeri ini membutuhkan generasi muda yang mencintainya secara aktif. Keempat, beragamalah dengan kesadaran, bukan sekadar kebiasaan. Dan terakhir, jadilah warga dunia yang bermartabat. Globalisasi menuntut kita untuk bersaing dan bekerja sama lintas budaya, tanpa kehilangan jati diri.”

Pidato tersebut mendapat apresiasi dari para hadirin, terutama para orang tua dan guru yang merasa bahwa nilai-nilai tersebut telah tertanam dan kini diteruskan kepada generasi berikutnya.

Tak kalah menyentuh, Ketua Pelaksana Harian (KPH), Dr. Sutrisno Muslimin, turut memberikan wejangan kepada para siswa yang diwisuda. Dengan suara penuh ketegasan, ia menyampaikan empat pesan penting.

“Pertama, jangan pernah tinggalkan salat lima waktu. Ini bukan hanya kewajiban, tetapi sumber kekuatan batin,” ujarnya.

“Kedua, berbaktilah kepada orang tua. Hormatilah mereka karena mereka adalah wakil Tuhan di dunia. Ketiga, hormati gurumu, karena mereka adalah cahaya dalam perjalanan ilmumu. Dan keempat, berprestasilah untuk bangsa dengan memiliki cta-cita tinggi yang menggetarkan. Bawalah nama baik Indonesia ke mana pun kalian melangkah,” tambah Sutrisno Muslimin.

Baca juga : Membingkai Optimisme Sekolah Masa Depan

Acara wisuda ini bukan hanya momentum akademik, tetapi juga menjadi ajang pembuktian bahwa nilai-nilai religius dan nasionalisme dapat berjalan beriringan. Pembacaan Al Quran dan doa penutup dibacakan dengan khusyuk, menciptakan suasana yang menenangkan dan menyatukan semua yang hadir dalam semangat keberkahan.

Lagu-lagu nasional dan paduan suara siswa yang mengusung tema cinta tanah air menggema di ruangan. Bahkan dalam penampilan seni yang ditampilkan para siswa, terlihat upaya merangkai keberagaman budaya Indonesia dalam satu narasi tunggal tentang persatuan.

Sekolah BM 400 Cibubur Ikut “Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

Sekolah BM 400 Cibubur Ikut “Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”

Talkshow Edukatif Bersama Eka Hospital Dorong Pola Asuh Sehat dan Berkarakter

Cibubur – Anak-anak Indonesia tumbuh di tengah arus zaman yang bergerak cepat. Dengan gempuran teknologi, perubahan pola hidup, hingga tantangan sosial yang semakin kompleks, satu hal tetap menjadi pondasi utama dalam membentuk masa depan bangsa: karakter dan kebiasaan anak sejak dini. Inilah yang coba ditegaskan oleh Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur melalui keterlibatannya dalam Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (G7KAIH)—sebuah inisiatif nasional yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya konkret dalam mendukung gerakan tersebut, Sekolah BM 400 Cibubur menggandeng Eka Hospital Cibubur menyelenggarakan talkshow daring bertema “Membangun Kebiasaan Baik untuk Mendukung Tumbuh Kembang Anak” pada Rabu, 14 Mei 2025. Acara yang disiarkan langsung melalui platform Instagram ini menyatukan dua narasumber dari dua dunia penting dalam tumbuh kembang anak: pendidikan dan kesehatan.

Hadir dalam diskusi adalah Iryanto Yosa, M.Si., Principal Middle-High School BM 400 Cibubur, dan dr. Utami Kurniawati Setianingsih, Sp.A., dokter spesialis anak dari Eka Hospital. Dalam suasana yang lugas dan komunikatif, keduanya membahas bagaimana kebiasaan sederhana sehari-hari dapat menjadi landasan kuat bagi pertumbuhan anak yang optimal—baik secara fisik, emosional, sosial, maupun spiritual.

Kebiasaan Adalah Akar Karakter

Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang diluncurkan oleh Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, menekankan tujuh hal mendasar yang diyakini mampu membentuk generasi Indonesia yang tangguh dan berdaya saing. Tujuh kebiasaan itu adalah: Bangun pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan sehat bergizi, Gemar belajar, Bermasyarakat, dan Tidur lebih cepat.

Iryanto Yosa menjelaskan bahwa sekolah sebagai institusi formal pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya mencetak siswa cerdas secara akademis, tetapi juga membangun fondasi karakter melalui pembiasaan perilaku positif.

“Kami melihat tujuh kebiasaan ini bukan sekadar daftar aktivitas, tapi refleksi dari nilai-nilai mendasar yang harus hidup dalam keseharian anak. Ini tentang membangun pola pikir disiplin, kepekaan sosial, hingga spiritualitas,” ujar Yosa.

Kolaborasi Pendidikan dan Kesehatan

Sementara itu, dr. Utami dari Eka Hospital menyoroti aspek medis dan perkembangan anak. Ia menggarisbawahi bahwa masa anak-anak adalah fase kritis di mana sel otak berkembang pesat, sistem imun sedang dibentuk, dan kebiasaan yang diciptakan bisa menetap hingga dewasa.

“Setiap kebiasaan membawa dampak jangka panjang. Tidur cukup, misalnya, berkaitan erat dengan imunitas dan konsentrasi. Makan bergizi mempengaruhi kecerdasan dan energi anak di sekolah. Begitu pula olahraga, yang berdampak langsung pada pertumbuhan tulang dan regulasi emosi,” tutur dr. Utami.

Ia juga mengingatkan pentingnya keselarasan antara pola asuh di rumah dan nilai-nilai yang dibangun di sekolah. Menurutnya, anak tidak bisa diminta untuk tidur lebih cepat jika orang tuanya masih asyik dengan gawai hingga larut malam. Anak tidak akan semangat berolahraga jika tidak melihat contoh dari lingkungan sekitar. “Kebiasaan itu menular. Maka orang tua dan guru harus jadi role model.”

Membangun Ekosistem Pembiasaan Positif

Salah satu kekuatan Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat adalah pada pendekatannya yang menyeluruh. Alih-alih sekadar kampanye satu arah, G7KAIH mendorong keterlibatan lintas sektor: sekolah, rumah sakit, komunitas, dan keluarga.

Bagi Sekolah BM 400 Cibubur, sinergi ini penting karena proses pendidikan anak tidak bisa berdiri sendiri. “Anak adalah cermin ekosistemnya. Maka, sekolah tidak cukup hanya mengajar di kelas, kami juga membuka ruang diskusi, menjalin kerja sama dengan tenaga kesehatan, bahkan melibatkan orang tua secara aktif,” jelas Yosa.

Talkshow bersama Eka Hospital ini adalah bagian dari agenda sekolah yang lebih luas dalam mengintegrasikan pendekatan kesehatan dalam kurikulum harian. Sebelumnya, BM 400 Cibubur juga telah mengadakan health day, kelas literasi gizi, dan seminar parenting.

Kehadiran rumah sakit dalam ranah edukatif menjadi bukti bahwa isu tumbuh kembang anak bukan hanya milik dunia pendidikan. “Kami sebagai fasilitas kesehatan juga punya misi edukasi. Rumah sakit bukan hanya tempat orang sakit datang, tetapi tempat masyarakat belajar menjadi sehat,” kata dr. Utami.

Tantangan dan Harapan

Meski program ini membawa angin segar, keduanya sepakat bahwa tantangan tetap ada. Dunia digital membawa godaan luar biasa bagi anak-anak untuk tidur larut, mengurangi aktivitas fisik, hingga mengkonsumsi makanan instan tinggi gula. Ditambah lagi, waktu orang tua yang semakin terbatas karena kesibukan kerja, membuat pengawasan dan pembinaan anak tak selalu optimal.

Namun demikian, talkshow ini memberikan optimisme bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Sekolah, rumah, dan lingkungan bisa bersama-sama menjadi “guru” yang mencetak anak-anak Indonesia yang sehat, cerdas, dan berbudi pekerti.

“Anak hebat tidak lahir karena teori hebat, tapi karena kebiasaan kecil yang terus diasah,” ujar Yosa menutup sesi talkshow.

Menyemai Harapan Lewat Pendidikan Holistik

Keikutsertaan Sekolah BM 400 Cibubur dalam gerakan G7KAIH menjadi bukti bahwa sekolah ini tidak hanya mengedepankan pencapaian akademik, tetapi juga mencetak manusia utuh. Manusia yang tak hanya mampu menghitung dan menulis, tapi juga bangun pagi dengan semangat, menyapa orang dengan ramah, bergerak sehat, makan dengan sadar, dan tidur dengan damai.

Baca juga : Guru Sekolah BM 400 Cibubur Hadiri Festival Belajar SD BM 400 Pondok Indah

Program ini juga mencerminkan semangat kolaboratif yang mulai tumbuh di dunia pendidikan Indonesia—di mana sekolah, rumah sakit, dan keluarga tidak berdiri di menara gading masing-masing, tetapi bahu-membahu membangun anak Indonesia.

Mereka sadar, membentuk anak hebat bukan tugas satu hari, satu pihak, atau satu kebijakan. Tapi tugas kolektif, berkelanjutan, dan dimulai dari hal sederhana: kebiasaan sehari-hari.